cerpen ini menginspirasi kita agar tak terlalu lelap dalam kegagalan
PATRIKAN
Hari ini, 9 juli 2012, untuk kesekian kalinya aku
terjatuh, terjatuh dalam jurang kegagalan. Setelah sekian lama dan berulang
kali aku berusaha tetap saja gagal. Ada sebuah teriakan kecil dalam dada yang
telah lama membekas yang ingin aku keluarkan. Tapi tidak, aku tak kuat, aku
mencoba tegar dengan hidup ini.
Pagi ini seperti biasanya aku
beraktifitas seperti anak ilmu biasanya. Mandi pagi, sarapan, ke sekolah,
pulang , tidur, belajar, dan tidur lagi. Tak ada yang istimewa dalam hidupku, aku
mencoba hidup normal dan biasa-biasa saja setelah kegagalan itu. Aku dorman,
aku tak ingin mengalami sakit yang kesekian kalinya. Tak ada jadwal latihan
taekwondo, tak ada jadwal les matematika, fisika, kimia yang menyebalkan, dan
tak ada jadwal les musik, semua hilang. Aku ingin move on dari hal-hal
yang telah lama menyakitiku. Aku adalah orang yang putus asa, padahal aku sudah
mencoba bertahan untuk terus mencoba dan tidak putus asa. Sekarang aku tak
percaya dengan pepatah-pepatah basi seperti “ kegagalan adalah awal dari
kesuksesan”. Tapi apa, mengapa aku belum juga sukses? Mengapa hati ini berkata
kamu tak akan sukses? Mulai saat itulah aku berani mematri pemikiran ku, bahwa
aku selamanya akan gagal, dan tuhan memang tak meberkati ku.
“gubrakk” bunyi berisik
memekikkan telinga kesayanganku. Dengan segera aku dekati sumber suara tadi.
Sebuah foto kenangan yang tak ternilai harganya ditabrak oleh kucing pembantuku
. Kuambil foto dan membiarkan kaca yang pecah berguling-guling di lantai. Foto
itu mengingatkan ku pada suatu kejadian luar biasa di masa lalu. Foto itu
merasuki pikiran ku, aku sedih, aku kecewa, dan aku dusta akan diriku sendiri.
Foto itu menggambarkan sebuah keluarga yang indah, tapi yang paling menarik
dari foto itu adalah sang teladan ku, ayah. Ayah yang ada di foto itu yang
selalu menyemangatiku , dan selalu mengatakan pepatah basi yang sudah aku
hilangkan dari kamus hidupku beberapa hari kemarin. Tiba-tiba ibu datang,”
mengapa mata mu berkaca-kaca nak?” kata nya dengan lembut dan penuh kasih
sayang. Aku semakin tak kuat untuk menjawab, matahari yang selalu menyinari ku
dimanapun dan kapanpun itu kini hanya bayang-bayang, tak terlihat lagi. Ia
tertutupi oleh air mata yang mulai membasahi wajah ini. “tak apa bu, lagi sedih
aja, kangen sama ayah” jawabku sambil terisak-isak. Dengan langkah gontai, ku
arungi ruang demi ruang hingga sampai pada tempat yang aku rasa nyaman. Kamarku
adalah surga bagiku, jika ia bisa bicara mungkin terlalu banyak yang akan aku
dengar. Mulai dari cerita sedih, gembira, tegang, sampai mengecewakan pernah ku
luapkan ditempat setia ini. Saat itu tiba-tiba terbesit suara ayah dalam
otakku. “kamu ingin menyerah dengan hidup ini,jangan!! jangan takut, hadapi
apapun, jika gagal bangkit, jangan terpuruk” dengarku pelan. Aku seakan dibawa
ke tempat dimana aku bisa memperoleh jawaban terbaik. Aku mulai sadar, putus
asa hanya akan membuatku semakin terpuruk, bukan semakin baik. Putus asa itu
ibarat fatamorgana jika kamu melihatnya dari jauh, ia indah sekali. Tapi,
disaat kau dekati dia hilang, dia hanya bayangan semu yang akan menghancurkanmu.
Aku merasa kejadian ini merupakan peringatan tuhan buat hambanya, agar aku tak
jatuh di jurang yang salah.
Setelah kejadian itu, aku seakan
kembali hidup. Aku merasa ada jiwa baru yang merasuki diriku, aku merasa ada
motivasi baru yang membuatku hidup. Sampai suatu ketika aku ditawari mengikuti
kejuaraan taekwondo tingkat regional. Berkat semangat baru itu aku merasa punya
modal untuk mengalahkan lawan-lawanku. Kerja keras adalah hal yang paling
melekat di otak dan hati ku. Mulai pagi sebelum berangkat sekolah, pulang
sekolah, bahkan aku sempatkan diriku untuk latihan malam hari. “deo, kok masih
latihan sih malam-malam gini” kata ibu dengan suara lirih dari dalam kamarnya.
“gak apa-apa kok bu, pokoknya amin pengen jadi juara kali ini, udah capek bu
amin gagal terus” jawab ku santai,
sambil tetap melatih kuda-kuda yang menjadi materi latihan ku malam ini. Aku
termenung sesaat, tiba-tiba perasaan takut kembali datang menghampiriku.
“apakah kali ini aku akan gagal lagi” gumamku dalam hati. Perasaan yang
mengiris hati itu semakin kuat ketika kenangan-kenangan ketika ku gagal muncul
dalam hati kecilku. “ udah malem nak, kok bengong sih” suara lirih lembut nan
pelan itu membangunkanku dari khayalan kecil sang pengiris hat iitu. “gapapa
kok bu, amin lagi mikirin ulangan besok aja” jawabku sambil menyembunyikan
rahasia perih itu. Tampaknya ibu yang mulai menua termakan usia itu tahu bahwa
buah hatinya menyembunyikan sesuatu darinya. “tak apa nak, cerita saja, ibu
juga pernah muda seperti kamu kok, siapa tahu ibu bisa membantu mu nak” kata
ibu lagi dengan penuh pengharapan. Aku yang semakin tak percaya dengan ibu yang
dulunya sangat sibuk, yang dulunya hampir tak pernah punya waktu untuk anak
semata wayangnya ini, yang dulunya tak pernah bisa menempatkan diriku seperti
anak-anak lainnya. Tapi , kini ibu berubah. Ia
tak seperti dulu lagi, kini pikirannya terfokuskan pada ku, semua perhatiannya
dicurahkan padaku, apa lagi saat teladan hidupku pergi meninggalkan aku dan
ibuku, ia menjadi sebenar-benarnya ibu yang aku harapkan. Aku pun berpikir dua
kali untuk menyampaikan apa yang telah menghantui pikiranku selama ini.
Sebenarnya aku tak ingin membuat ibu bersedih dengan keputus asaan yang
menghantuiku. Tapi, hati kecilku berkata bahwa sampaikanlah , jangan dipendam
sendirian, apapun yang dipendam pasti akan menyakitkan. “begini bu, sejak aku
gagal pada turnamen takwondo cup 2012 kemarin aku sangat putus asa, bahkan
sampai suatu ketika aku bahkan tak punya semangat hidup, bahkan aku hidup hanya
untuk menghabiskan oksigen” curhatku pada ibu terbaik sedunia itu.”nak hidup
memang begitu, apa yang kita rencanakan belum tentu disetujui oleh tuhan, kita
harus selalu siap mental. Terkadang kita di atas, terkadang kita di bawah”
jawab ibuku dengan nada yang meyakinkan. Aku termenung, ibuku benar. Kita
memang tak pernah tahu apa yang akan tuhan berikan pada kita. Mulai saat itu
akupun kembali semakin bersemangat. Semangat yang muncul sejak kejadian kucing
beberapa hari yang lalu ditambah dengan semangat baru dari ibu kesayangan
membuatku merasa semakin yakin bahwa apa yang telah diberikan oleh tuhan adalah
yang terbaik buat ku.
Setelah beberapa bulan latihan
taekwondo. Tibalah hari dimana aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku ini ada. Pertandingan demi pertandingan
pun telah dihelat. Giliranku pun datang, fisik yang sudah dipersiapkan dan
ditempa sekian lama aku gunakan sebagai andalan. Ronde demi ronde pun sudah aku
menangi, aku semakin merasa diatas awan. Tibalah aku di partai puncak, dimana
seluruh mata terfokus pada satu pertandingan. Konsentrasiku pun mulai
berkurang, aku pikir ini semua karena pertandingan-pertandingan yang telah
cukup banyak aku lakukan tadi. Tapi, aku rasa ada hal lain yang mengganjalku,
yang membuat jantungku berdegup kencang, ntah apa? Aku pun tak tahu. Kuda-kuda
sudah aku persiapkan , tibalah saat dimana pertandingan dimulai, serangan demi
serangan aku lancarkan, tangkisan pun tak mau kalah juga aku keluarkan. Tapi,
sesuatu yang mengganjal tadi seakan menjadi penghalang diriku untuk menyerang
dengan sekuat tenaga. Aku bingung, aku merasa ini bukan diriku, aku merasa ada
hal lain yang mengganti jiwaku. “plaakk” sebuah tendangan telak menjatuhkan ku.
Aku pingsan, aku merasa dunia ini gelap, tak ada cahaya, yang ku rasa hanyalah
sakit. Aku tebangun dari gelap, yang aku lihat adalah putih. Aku merasa tempat ini asing, tapi sepertinya
sudah pernah ku lihat. Aku teringat dikala teladanku terbaring lemas tak
berdaya di tempat ini, aku teringat bahwa orang-orang yang datang kesini adalah
pesakitan. Hari demi hari pun ku lalui di sini sampai kondisiku benar-benar
membaik.
Di pagi minggu setelah
kesembuhanku aku memulai hari di pukul lima, aku tak berniat membangunkan diri
dari kamar kecil namun nyaman ini. Aku merasa perutku mulai berontak, tak ayal
aku melangkah menuju dapur, ku ambilkan makanan secukupnya, dan meminum
beberapa gelas air. aku berjalan menuju surga ku lagi. Aku terhenti di ruang
tengah, aku melihat pertandingan taekwondo yang sangat populer bagiku itu.
Terasa ada yang mengiris hatiku, perasaan putus asa kembali muncul. Aku
lanjutkan petualangan menuju surga ku lagi. Ku tarik selimut tebal yang selama
ini menampung badanku setiap malam. Aku kembali teringat dengan keputus asaan.
Lama ku berpikir, sampai akhirnya aku merasa
aku ingin berontak lagi. Aku muak dengan hidup seperti ini, aku tak
mengakui tuhan lagi, aku tak mau mendengar ibu lagi, aku tak mau mengenang
nasihat-nasihat siapapun. Aku merasa aku adalah debu di dunia ini. Aku menganggap
hidupku di dunia ini tak ada gunanya. Sejak hari itu aku seakan tak mengenal
semua orang di dunia ini, bahkan tuhan pun aku tak punya. Ibu yang kerap kali
memanggilku tak pernah aku gubris. Aku tak tahu perasaan campur aduk apa yag
ada dalam tubuh ibuku, aku tak peduli, yang aku pedulikan adalah bagaimana aku
mati.
Suara batuk yang menghiasi hariku
beberapa hari terakhir ini, tak pernah ku hiraukan. Aku tak mau tahu itu milik
siapa, yang aku tahu ada makanan di dapur, ada uang jajan, dan ada listrik di
rumahku. Iya memang kekayaan yang ditinggalkan teladanku cukup untuk menghidupi
aku dan ibuku. Tapi aku tak mau ambil pusing bagaimana cara ibu menyiapkan
makanan buatku? Bagaimana ia membereskan rumah? Dan sebagainya. Sebenarnya
dalam hati kecilku, aku cukup mengkhawatirkan ibuku. Apalagi ketika setiap
malam ia ke kamar ku dan menyelimutiku, mematikan lampu,bahkan menatap diriku
dalam gelap. Tapi, aku tetap saja gengsi menegurnya sejak kegagalanku yang
terakhir kali. Aku sekan tak mengenalnya, aku seakan bukan lahir dari darah dan
daginya. Bahkan akupun tak memikirkan bahwa teladanku itu ada, yang aku tahu
orang itu telah mati.
Suatu hari, di pagi yang dingin
dan menusuk itu aku tiba-tiba ingin mengambil makan seperti biasanya, di tempat
dimana perut tercintaku kenyang dan puas. Dalam perjalanan menuju dapur, hatiku
tergerak untuk melihat ibu yang aku anggap tak ada itu. Ku masuki kamarnya, dan
ku telusuri setiap sudutnya. Ternyata tak ada seonggok badanpun di ruangan itu.
Aku hanya melihat sebuah surat kecil, yang tergeletak di meja rias ibuku, yang
di sekelilingnya terdapat guratan-guratan kertas yang sudah digumpalkan dan tak
berguna. Aku tertegun membaca surat itu.
Dear anakku tercinta,
Ibu tak bisa menyampaikan ini secara langsung. Ibu tahu
bahwa tulang ini tak sanggup lagi menopang badan tua ini. Ibu sudah semakin
berumur dan beruban. Ibu senang bisa melihat senyum tipis yag kadang genit
milikmu itu . ibu semakin bahagia ketika melihatmu lahap makan setiap pagi,
melihatmu menonton televisi dan kebiasaan-kebiasaan unik mu lainnya. Ibu tak
pernah bersedih ketika kamu gengsi untuk menegur ibu, ketika kamu tak
menganggap ibu ada, dan ketika kau tebarkan wajah cemberut mu pada ibu. Ibu
hanya bersedih ketika anak tersayang ibu belum bisa memaknai hidup ini dengan
baik, belum bisa menyelesaikan masalah dengan dewasa, dan belum mampu
mensyukuri apapun yang diberikan tuhan. Ibu tahu kamu sangat terpukul setelah
kekalahan mu kemarin, kamu sangat putus asa. Hal itu, dapat ibu lihat dari
binar matamu nak. Ibu ikut bersedih disaat kamu seperti ini. Tapi, ibu tak
ingin kau melihat ibu bersedih . Ibu hanya ingin kau tersenyum. Ibu juga tahu
kok kalau gagal itu sakit. Ibu juga tahu kalau kamu sangat membenci ibu karena
nasihat ibu. Tapi ibu hanya ingin sedikit memberi wejangan buatmu. Setiap orang
itu pasti gagal, ibu pun pernah gagal, jangankan ibu bill gates pun pasti
pernah gagal. Tapi mereka itu tegar, mereka ingin belajar dari kegagalan dan
mereka tahu dibalik kegagalan itu tersimpan kesuksesan yang luar biasa. Setiap
kegagalan itu pasti punya sebab. Sekalipun orang sukses, siapapun akan bertanya
dalam hati mereka, apa sih yang membuat ku gagal? Mereka pasti akan
bertanya-tanya dalam hati mereka. Ibu juga seperti itu. Makanya , jangan takut
gagal nak! Jika gagal, bangkit, gagal lagi bangkit, sampai seterusnya. Tapi ibu
tahu kok kalau dalam hatimu tersimpan semangat untuk berjuang yang jauh lebih
besar dari yang ibu tahu. Nah nak, agar kamu tak gagal lagi, kamu harus
mengevaluasi apa yang menyebabkan kamu gagal, lalu memperbaiki kesalahan itu,
dan terakhir harus berani mencoba lagi, dan jangan pernah takut. Mungkin ibu
rasa surat ibu ini tak menarik, tapi ketahuilah ibu sangat menyayangimu nak.
Ibu memang tidak mengabarkan mu bahwa ibu sekarang sedang di rumah sakit, ibu tak
mau membangunkanmu. Ibu hanya tak mau melihat anak ibu letih memikirkan ibunya.
Sekian surat dari ibu, jika kamu sudah tak capek dan sudah punya kesempatan,
ibu hanya ingin engkau menjenguk ibu, sebelum sang kholik mencabut nyawa ibumu
ini nak.
Hati
ku tiba-tiba teriris mendengar semua perkataan, nasihat, bahkan perhatian dari
matahariku itu. Aku tak kuat menahan air mata yang mulai mendesak ingin keluar
ini. Tetes demi tetes air mata ini mulai bercucuran. Aku kini mulai menyadari
bahwa hidup itu tak seperti yang kita inginkan. Hidup itu seperti yang kita
butuhkan. Seperti ceritaku ini, yang aku butuhkan bukan kemenangan dari
pertandingan taekwondo itu, yang aku butuhkan adalah kemengan dari nafsu
keputusasaan. Aku pun sekarang tahu, yang dibutuhkan dalam sebuah pertandingan
bukan hanya kesiapan untuk menang dan kesiapan fisik tapi juga kesiapan mental
dan kesiapan untuk kalah. Berkat sinar matahari itu kini setiap bagian tubuh
dan jiwaku berlomba-lomba untuk bersemangat tapi tetap bersinergi dalam menghadapi
dunia yang penuh gemerlap hawa nafsu ini. Dan yang paling penting dalam hidup
ini adalah patrikan dalam hati bahwa apa yang diberi tuhan adalah yang terbaik
dalam hidup kita. Jika gagal bukan berarti tuhan membenci kita, tapi tuhan
ingin kita belajar bahwa apa yang kita lakukan itu bukan digambarkan dari
hasil, tapi dari keringat yang bercucuran untuk menggapainya. Orang yang bijak
tahu kok siapa yang gagal, orang yang gagal adalah orang yang selalu
berorientasi pada hasil.
0 comments:
Post a Comment